Dasar Aksiologi Keilmuan
Dasar Aksiologi Keilmuan
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu
Dosen
Pengampu : Ahmad
Muzakkil Anam, S.Pd.I, M.Pd.I

Disusun
Oleh :
Ilmi Azizah (63020160122)
Ali
Mustopa (63020160125)
Rr Irish Reza Meidhiyanti (63020160126)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur senantiasa penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala limpahan rahmat, bimbingan dan petunjuk serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dengan lancar. Makalah
ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu..
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
penulisan dan penyusunan makalah ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik
tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak.
Akhir kata penulis meminta maaf atas
kesalahan serta kekhilafan dan juga banyaknya kekurangan penulisan dalam makalah ini. Penulis berharap semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk
serta rahmat-Nya kepada kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga,17
Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aksiologi
merupakan bagian dari filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang artinya
nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang
nilai dalam berbagai bentuk.
Dalam kamus
Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.
Pada
bagian ini akan dibahas beberapa hal terkait dengan aksiologi sebagai langkah
awal dalam mempelajari persoalan ini. Beberapa poin yang akan dibahas dalam
konteks ini adalah : pengertian, pendekatan, dan makna nilai dalam kajian
aksiologi.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian
Aksiologi ?
2.
Apa Saja
Pendekatan dalam Aksiologi ?
3.
Apa Saja Makna
dalam Nilai ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui
Pengertian Aksiologi.
2.
Untuk Mengetahui
Pendekatan Dalam Aksiologi.
3.
Untuk Mengetahui
Makna Dalam Nilai.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Secara etimologis,
aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “aksios” yang berarti Nilai
dan kata “logos” berarti teori. Jadi,aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai. Dengan kata lain, aksiologi adalah teori nilai.
Suriasumantri (1990:234) mendefinisikan aksiologi sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Aksiologi dalam
Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono
(dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu. Dalam Encyclopedia of Philosophy (dalam Amsal, 2009:164)
dijelaskan aksiologi disamakan dengan Value
and valuation.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Aksiologi
merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di
peroleh bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu.
B. Pendekatan dalam Aksiologi
Ada tiga ciri yang dapat kita kenali terhadap nilai,
yaitu nilai yang berkaitan subjektif, praktis, dan sesuatu yang ditambahkan
pada objek.
Pertama, nilai
berkaitan dengan subjek. Artinya, nilai itu berkaitan dengan kehadiran manusia
sebagai subjek. Kalau tidak ada manusia yang memberi nilai, nilai itu tidak
akan pernah ada. Tanpa kehadiran manusia pun, kalau Gunung Merapi meletus ya
tetap meletus. Pasalnya sekarang, ketika Gunung Merapi meletus misalnya, apakah
itu sesuatu yang “indah” ataukah “membahayakan”
bagi kehidupan manusia. semuanya itu tetap memerlukan kehadiran manusia
untuk memberikan penilaian. Dalam hal ini nilai subjektivitas memang bergantung
semata-mata pada pengalaman manusia.
Kedua, nilai
dalam konteks praktis. Yaitu, subjek ingin membuat sesuatu seperti lukisan,
gerabah, dan lain-lain.
Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
C. Makna dalam Nilai
Secara singkat dapat dikatakan,
Perkataan, nilai, kiranya, mempunyai beberapa makna seperti yang ada dalam
contoh-contoh berikut :
a.
Mengandung nilai
( artinya, berguna )
b.
Merupakan Nilai
( artinya, “baik” atau “benar” atau “indah” )
c.
Mempunyai Nilai
( artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan
orang mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai tertentu )
d.
Memberi Nilai (
artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan nilai tertentu )
Sesuatu
benda atau perbuatan dapat mempunyai nilai, dan berhubung dengan itu, dapat
dinilai. Hal-hal tersebut dapat mempunyai nilai karena mengandung nilai atau
menggambarkan sesuatu nilai. Suattu pernyataan memiliki nilai kebenaran, dan
karena itu bernilai untuk pemberitahuan. Suatu lukisan memiliki keindahan, dan
berhubung dengan itu, bernilai bagi mereka yang menghargai seni. Seorang
ilmuwan memberi nilai kepada pernyataan-pernyataan yang benar dan pecinta
keindahan memberi nilai-nilai kepada karya seni. Apa yang dikatakan diatas
semuanya menunjukkan cara-cara penggunaan kata “Nilai”.
1.
Nilai merupakan
kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan
a.
Kualitas
melukiskan suatu obyek
Kualitas
ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain,
kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang
tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Nama sesuatu kualitas dapat dipakai
sebagai kata sifat. Berhubung dengan itu misalnya dapat dikatakan “pisang itu
kuning”. Suatu kata sifat mengatakan sesuatu mengenai obyek yang memperoleh
penyifatan (kualifikasi). Dalam hal ini dikatakan bahwa suatu obyek mempunyai
sesuatu sifat.
b.
Kualitas-kualitas
empiris
Kualitas
empiris ialah kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman.
Dalam babak terakhir “kuning” merupakan kualitas semacam itu; satu-satunya cara
mengetahui bahwa “pisang itu kuning” ialah melihatnya dengan mata kepala
sendiri. Diandaikan anda tidak mengetahui apa yang dinamakan warna kuning dan
meminta kepada saya untuk mendefinisikannya. Jika saya tunjukkan kepada anda
sesuatu yang berwarna kuning dan jika anda tidak buta warna, maka anda akan
segera tahu apakah kuning itu. Menurut buku yang berjudul principiaEticha, G.E.
Moore mengatakan bahwa “baik” merupakan pengertian-pengertian yang bersahaja,
seperti halnya juga “kuning” merupakan pengertian yang bersahaja.
c.
Pemahaman atas kualitas-kualitas nilai
Jika nilai merupakan suatu
kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek dan perbuatan tersebut dapat
didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi tidak mungkin sebaliknya.
Paham yang mengatakan bahwa nilai merupakan kualitas empiris berarti kita dapat
mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang bersangkutan yang terdapat
pada suatu obyek tertentu; atau dapat juga berarti bahwa akal kita secara
langsung mengetahui kualitas tersebut sebagai pengertian semesta. Dengan
demikian suatu obyek yang indah terlihat indah; atau keindahan secara akali
langsung dipahami sebagai kualitas suatu obyek. Suatu perbuatan yang baik,
misalnya menolong orang buta, memiliki kualitas kebaikan yang tampak secara
langsung. Kebaikan perbuatan tersebut tidak dapat dipulangkan kepada rasa nikmat
yang dialami orang yang melakukan maupun oleh orang buta yang memperoleh
kebaikan tersebut.
d.
Verifikasi melalui pengalaman
Jika “nilai” merupakan
pengertian jenis bagi kualitas-kualitas empiris yang bercorak tertentu,
maka pertanyaan “apakah
nilai itu?” hanya dapat dijawab dengan melakukan penyelidikam
serta pelukisan secara empiris. Dan ditinjau dari sudut pandangan ini, suatu tanggapan
penilaian merupakan tanggapan empiris, dengan segala kesulitan serta kesalahan
yang dapat melekat pada tanggapan-tanggapan empiris. Mengatakan bahwa “A wanita
cantik”atau” B wanita jelek”, “A berwarna kuning” atau “B terasa pahit”.
Begitulah verifikasi terhadap tanggapan-tanggapan penilaian mengambil bentuk
yang sama dengan verifikasi terhadap tanggapan-tanggapan empiris yang
lain,yaitu dengan jalan mengalami kualitas yang bersangkutan.
e.
Tolak ukur kajian terhadap nilai
Kenyataannya bahwa nilai
tidak dapat didefinisikan tidak berarti nilai tidak bias dipahami. Bila saya
mengatakan “Kuning tidak dapat didefinisikan”, maka yang saya maksudkan ialah
bahwa warna kuning tidak dapat dipulangkan kepada suatu hal yang lain,
melainkan harus dialami.
2.
Nilai sebagai Obyek Suatu Kepentingan
a.
Setiap nilai menyangkut sikap
Bahwasannya sering orang
tidak sepakat mengenai nilai-nilai. Ada pula yang mengatakan bahwa masalah nilai
sesungguhnya merupakan masalah pengutamaan, dan “de gustibus
non est disputandum”, (mengenai masalah selera orang tidak perlu
mempertentangkannya). Tetapi sama pula benarnya bahwa mengenai banyak nilai
orang dapat memperoleh kesepakatan. Kiranya juga jelas bahwa perasaan dan
keinginan senantiasa berhubungan erat dengan tanggapan-tanggapan penilaian.
b.
Nilai ialah kepentingan
Menurut
Perry,setiapobyek yang ada dalam kenyataan maupun dalam pikiran, setiap
perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat diperoleh nilai,
jika pada suatu ketika
berhubungan dengan subyek-subyek yang mempunyai kepentingan. Dengan kata lain,
jika seseorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal
tersebut mempunyai nilai.
Menurut Perry
: kesunyian
sebuah gurun tidaklah mempunyai nilai sampai seorang pengelana merasakannya
sebagai kesepian serta mengerikan; jeram pun demikian, sampai daya serap
seorang manusia memandangnya indah sekali, atau sampai orang memanfaatkannya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Sesungguhnya, tidak ada satu hal
pun yang dapat disebut tetapi tidak dapat dilekati nilai tertentu, berdasarkan
kenyataan bahwa hal tersebut telah dipilih untuk mencapai tujuan yang masuk
akal oleh suatu pemikiran yang mempunyai kepentingan. Sejalan dengan
bertambahnya serta meluasnya pengaruh kepentingan berdasarkn pengalaman serta
rekaan akal, maka Khazanahnya nilai jagad raya semakin kaya dan semakin
beraneka ragam.
c.
Sejumlah keberatan yang dapat diajukan
Agaknya ajaran Perry hendak
menempatkan segenap nilai sepenuhnya dalam kedudukan yang ditentukan oleh
manusia. Artinya, bagi orang yang tidak mempunyai kepentingan pada,
katakanlah, kesusilaan,maka etika tidak bernilai bagi mereka yang tidak mempunyai
kepentingan pada keadilan, maka keadilan juga tidak bernilai, dan begitu pula
halnya dengan pernyataan-pernyataan yang benar. Tetapi dalam kenyataannya orang
merasa bahwa kebenaran, kebaikan, dan keadilan mempunyai nilai, atau bernilai,
tanpa mengingat ada atau tidaknya kepentingan seseorang terhadap hal-hal
tersebut.
3.
Teori Pragmatis mengenai Nilai
Sejumlah hal yang telah
diperbincangkan yang bersifat penolakan terhadap teori nilai yang didasarkan
atas kepentingan kiranya menyebabkan tampilnya teori lain,yaitu teori pragmatis.
Teori pragmatis mendasarkan diri atas akibat-akibat, dan begitu pula halnya
dengan teori pragmatis mengenai nilai.
a.
Nilai sebagai hasil pemberian nilai
Menurut Dewey,
meskipun kebaikan kiranya
bersangkutan dengan akibat-akibat, namun kebaikan itu tidak sekadar
bersangkutan dengan hasil-hasiljangka pendek dari satu keinginan yang dangkal.
Meskipun sebuah pensil bernilai dalam arti berguna untuk
mengerjakan teka-teki,namun kiranya orang tidak akan mengatakan bahwa karena
itu pensil tersebut bernilai. Kepentingan yang tersangkut harus cukup besar dan
bersifat tetap. Sesungguhnya bukan kepentingan itulah yang menyebabkan suatu
obyek bernilai. Suatu kualitas yang terdapat disekitar obyek itulah yang
menyebabkan orang menanggapinya sebagai
suatu nilai. Menurut Dewey disinilah letak inti pokok masalahnya. Nilai
bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan;
”nilai”
bukanlah suatu kata benda
atau bahkan juga bukan kata sifat. Masalah nilai sesungguhnya berpusat
disekitar perbuatan pemberi nilai.
b.
Hubungan sarana-tujuan
Dalam Theory of valuation,
Dewey mengatakan bahwa
pemberian nilai menyangkut perasaan, keinginan, dan sebagainya; pemberian nilai
tersebut juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dengan
tujuan. Seluruh keadaan harus diperiksa ulang dan harus diramalkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, sebelum orang dapat menetapkan
nilai pada barang sesuatu atau perbuatan tertentu.
Menurut Dewey masalah yang
sebenarnya ialah pemberian nilai secara tepat, dan yang demikian ini
bersangkutan dengan campur tangan akal secara aktif atau tanggapan-tanggapan
yang didasarkan fakta serta tujuan-tujuan yang terbayang. Perlu ditekankan
disini kita bersangkutan dengan perbuatan, dengan pemberian nilai, dan bukan
dengan suatu barang atau suatu sifat. Dengan kata lain, pemberian nilai berarti
berkenaan dengan bahan-bahan faktual yang sudah tersedia,dan berdasarkan atas
bahan-bahan tersebut perbuatan-perbuatan serta obyek-obyek dapat dihubungkan
dengan tujuan-tujuan yang terbayang.
c.
Sarana dan tujuan tidak terpisahkan
Dewey memperingatkan agar
orang tidak hanya mempertimbangkan tujuan sebagai pembenaran bagi setiap macam
sarana yang digunakan, karena sarana itu sendiri dapat menimbulkan
akibat-akibat yang berbeda sama sekali dengan apa yang dikehendaki.
d.
Nilai-nilai yang diciptakan oleh situasi kehidupan
Pemberian nilai, seperti
halnya semua proses akali, bermula hanya apabila orang menghadapi sesuatu masalah; artinya, bermula pada suatu keadaan yang didalamnya
terdapat ketegangan dan tiadanya ketertiban. Jika seseorang pada suatu waktu
tertentu memberikan tanggapan atau melakukan penilaian,maka ia melakukannya
dalam rangka memulihkan ketertiban serta menghilangkan ketegangan. Maka
penilaian yang dilakukannya bersifat dinamis serta relatif terhadap situasi yang konkret; penilaian tersebut dapat berubah sejalan dengan
perubahan kondisi.
Menurut Dewey setiap situasi
menciptakan nilai-nilai. Berhubung dengan itu sesungguhnya tidak ada
nilai-nilai yang abadi, yang ada hanyalah nilai abadi, yang ada hanyalah
nilai-nilai yang berubah-ubah, yang tergantung pada keadaan. Selama hasil
penilaian dapat memajukan tujuan-tujuan bersama,
maka selama itu hasil
penilaian tersebut benar.
e.
Ketidaksepakatan mengenai nilai-nilai
Dewey mengatakan bahwa
ketidaksepakatan itu ada dua macam, yaitu ketidaksepakatan faktual dan
ketidaksepakatan semu. Jika kedua orang tadi
bersepakat
mengenai tujuan yang hendak
dicapai, maka pastilah ketidaksepakatan tersebut menyangkut
cara-cara yang dikehendaki untuk dilakukan dalam mencapai tujuan dengan menggunakan
sarana-sarana tertentu. Sebaliknya jika terdapat ketidaksepakatan mengenai
tujuan, maka sesungguhnya dalam hal ini tidak mungkin terdapat
pertentangan pendapat. Karena sudah jelas bahwa apa yang dapat mendorong
tercapainya suatu keadaan tertentu mungkin tidak ada sangkut-pautnya dengan apa
yang dapat mendorong tercapainya suatu keadaan tertentu yang lain.
4.
Nilai sebagai Esensi
Keberadaan nilai-nilai dari
sudut ontologi, adalah menarik bahwa melalui apa yang dapat
dinamakan “indera nilai”. Pengetahuan mengenai nilai bersifat apriori dalam
arti tidak tergantung pada pengalaman dalam arti kata yang biasa. Nilai-nilai
diketahui secara langsung, baik orang yang dapat atau tidak menangkapnya.
mencoba menunjukkan nilai yang terdapat dalam suatu obyek atau perbuatan kepada
seseorang yang tidak mempunyai pengalaman tentang nilai sama sulitnya dengan
mencoba menunjukkan warna kepada orang buta. Sebab menurut Hartmann, nilai
bukanlah merupakan kualitas, melainkan merupakan esensi.
Agar dapat memahami ajaran
Hartmann, hendaknya orang berhati-hati serta menghindari tafsir bahwa nilai
merupakan “sesuatu yang bereksistensi” atau merupakan suatu kualitas tertentu.
Sesungguhnya nilai itulah
yangmemberikan makna kepada eksistensi; nilai-nilai dapat dipandang serupa
dengan bentuk-bentuk apriori untuk mengalami seperti yang diajarkan oleh Kant.
Nilai-nilai tidak mengubah
apa pun di alam semesta; manusia sekadar memberikan respon terhadap
nilai-nilai, dan berusaha mewujudkannya. Dengan demikian, apabila eksistensi
dikatakan dapatberubah dan mengalami perubahan, maka nilai-nilai tidak berubah
dan bersifattetap. Menurut Hartmann nilai-nilai bukan hanya tidak tergantung
pada eksistensi, melainkan juga pada jiwa; sedangkan menurut Kant,
bentuk-bentuk untuk mengalami sesungguhnya merupakan bentuk-bentuk yang
dipunyai oleh jiwa. Berhubung dengan itu alam nilai merupakan alam yang
mendasari, yang nyata ada, dan yang abadi.
Jika orang dapat menangkap
perbedaan antara esensi dan eksistensi, maka teori tentang nilai
tersebut di atas tentu akan sangat menarik. Tampaknya teori ini dapat dipakai
untuk menyelesaikan begitu banyak masalah yang tersangkut dalam aksiologi.
Teori ini menjelaskan bahwa nilai-nilai bersifat objektif dan tetap, teori ini
juga menerangkan bahwa setiap tanggapan jelas menggandung unsur subjektifitas.
Barangkali kesukaran pokok yang dihadapi oleh Plato dalam hubungannya dengan
ajaran mengenai bentuk-bentuk yang abadi. Dalam hal nilai-nilai, kiranya tidak
mungkin menerapkan penyelesaian Aristoteles yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk
terdapat didalam obyek. Karena salah satu kesulitan terbesar yang menghadang,
jika demikian keadaannya, obyek-obyek tentu harus dipandang mempunyai nilai
meskipun tidak ada orang yang memberi nilai kepadanya.
Keberatan
lain yang dapat diajukan terhadap teori esensi tentang nilai terletak pada
ajaran intuisi. Dalam pikiran dewasa ini, sebagian besar menolak mengakui cara
pemahaman secara itu. Tetapi tokoh-tokoh terpandang seperti Ross, Ewing, dan
lain-lain mempertahankan pendirian yang mengatakan bahwa memang ada bentuk
intuisi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga
pilar utama dalam filsafat ilmu yang selalu menjadi pedoman. Yaitu,
ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Jujun S.Suriasumantri,1987:5). Ketiga pilar
itulah manusia berupaya untuk mencari dan menggali eksistensi ilmu
sedalam-dalamnya. Hakikat apa yang ingin diketahui manusia merupakan
pokok bahasan dalam ontologi.
Dalam hal ini manusia ingin mengetahui tentang “ada” atau
eksistensi yang dapat dicerap oleh panca indera.
Sedangkan Epsitemologi merupakan landasan kedua filsafat yang mengungkapkan
bagaimana manusia memperoleh pengetahuan atau kebenaran tersebut. Setelah
memperoleh pengetahuan, manfaat apa yang dapat digunakan dari pengetahuan itu.
Inilah yang kemudian membawa pemikiran kita menengok pada konsep aksiologi. Yaitu,
filsafat yang membahas masalah nilai kegunaan dari nilai pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Kattsoff,
Louis O. 1992. Alih Bahasa Soejono Soemargono. PENGANTAR FILSAFAT . Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
https://id.scribd.com/doc/79670707/AKSIOLOGI-FILSAFAT-ILMU
Komentar
Posting Komentar